Sejarah dan Tradisi Suku Sasak, Lombok NTB
Asal-usul etnis Sasak di Pulau Lombok
dapat dilacak dari kata sasak itu sendiri. Sasak secara etimologi, menurut
Goris S., berasal dari kata sah yang berarti “pergi” dan shaka yang berarti
“leluhur”. Dengan begitu, sasak berarti “pergi ke tanah leluhur”. Dari
etimologi ini diduga leluhur orang Sasak adalah orang Jawa; ini terbukti pula
dari aksara Sasak yang oleh penduduk Lombok disebut “Jejawan”, yakni aksara
Jawa, yang selengkapnya diresepsi oleh kesusastraan Sasak.
Peta LombokSuku Sasak adalah kelompok etnik mayoritas di
Lombok. Populasi mereka kurang-lebih 90% dari keseluruhan penduduk Lombok.
Kelompok-kelompok lain, seperti Bali, Sumbawa, Jawa, Arab, dan Cina, merupakan
kelompok pendatang.
Selain beragamnya jumlah etnik, Pulau Lombok juga memiliki
beragam budaya, bahasa, dan agama. Masing-masing kelompok berbicara berdasarkan
bahasanya sendiri-sendiri. Orang Sasak, Bugis, dan Arab mayoritas beragama
Islam; orang Bali beragama Hindu; dan orang-orang Cina beragama Kristen.
Berdasarkan kebiasaan keagamaan mereka, Sasak bisa dibagi ke
dalam Waktu Lima dan Watu Telu. Waktu Lima ditandai dengan ketaatan yang tinggi
terhadap ajaran agama Islam.
Sedangkan Watu Telu adalah waktu bagi mereka yang tetap
memuja roh para leluhur, berbagai dewa, dan lain-lain dalam lokalitas mereka.
Walau pun bagi orang Sasak yang mengaku sebagai Muslim. Dalam kehidupan
sehari-hari mereka, adat cenderung memerankan peran dominan di kalangan
komunitas Wetu Telu; dan dalam beberapa hal terdapat praktik yang bertentangan
dengan ajaran Islam.
Walau mereka sangat menyadari bahwa aturan adat tertentu
memang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti memberi penghormatan pada
leluhur dan roh nenek moyang, komunitasv Watu Telu memandang bahwa itu semua
merupakan bagian dari tradisi keagamaan mereka. Watu Telu tidak menggariskan
suatu batas yang jelas antara adat dan agama. Karenanya, adat sangat bercampur
dengan agama.
Sejarah
Sejarah Lombok tidak lepas dari silih bergantinya penguasaan
dan peperangan yang terjadi di dalamnya, baik konflik internal, yaitu
peperangan antar kerajaan di Lombok, maupun eksternal, yaitu penguasaan dari
kerajaan dari luar Pulau Lombok. Perkembangan era Hindu dan Buddha memunculkan
beberapa kerajaan seperti Selaparang dan Bayan. Kerajaan-kerajaan tersebut
ditundukkan oleh penguasaan Kerajaan Majapahit dari ekspedisi Gajah Mada pada
abad XIII – XIV dan penguasaan Kerajaan Gel-Gel dari Bali pada abad VI.
Antara Jawa, Bali, dan Lombok memunyai beberapa kesamaan
budaya, seperti dalam hal bahasa dan tulisan, yang jika ditelusuri asal-usulnya
banyak berakar dari Hindu Jawa. Hal ini tidak lepas dari pengaruh penguasaan
Majapahit yang kemungkinan mengirimkan anggota keluarganya untuk memerintah
atau membangun kerajaan bawahan di Lombok.
Sebelum kedatangan pengaruh asing ke Lombok, Boda merupakan
kepercayaan asli orang Sasak. Orang Sasak pada waktu itu, yang menganut
kepercayaan ini, menyebutnya Sasak Boda. Kendati ada kesamaan bunyi dengan
Buddha, agama Boda tidak sama dengan Buddhisme. Orang Sasak tidak mengakui
Sidharta Gautama atau Sang Buddha sebagai figur utama pemujaannya maupun
terhadap ajaran pencerahannya. Agama Boda orang Sasak terutama ditandai oleh
animisme dan panteisme. Pemujaan dan penyembahan roh-roh leluhur dan berbagai
dewa lokal lainnya merupakan fokus utama dari praktik keagamaan Sasak-Boda.
Konversi orang Sasak ke dalam Islam sangat berkaitan erat
dengan kenyataan adanya penaklukan dari kekuatan luar. Beberapa kekuatan asing
yang menaklukan Lombok selama berabad-abad, sangat menentukan cara orang Sasak
menyerap pengaruh-pengaruh luar tersebut.
Kerajaan Majapahit masuk ke Lombok dan memperkenalkan
Hindu-Budhisme ke kalangan Sasak. Setelah Majapahit runtuh, pengaruh Islam
mulai muncul dan pada saat itu juga mulai masuk ke daerah Lombok. Ketika itu
Islam telah menyatu dengan ajaran sufisme Jawa yang penuh mistik. Orang-orang
Makassar tiba di Lombok Timur pada abad ke-16 dan berhasil menguasa Selaparang,
kerajaan kuno orang Sasak. Orang-orang dari Makassar bisa dikatakan berhasil
menyebarkan Islam di Lombok, meski masih tetap tercampurkannya dengan
kebudayaan lokal.
Kerajaan Bali dari Karangasem menduduki Lombok Barat sekitar
abad ke-I7, dan kemudian mengonsolidasikan kekuasaannya terhadap seluruh Lombok
setelah mengalahkan Kerajaan Makassar pada 1740. Pemerintahan Bali
memperlihatkan kearifan dan toleransi yang besar terhadap orang Sasak dengan
membiarkan mereka mengikuti agama mereka sendiri. Kendati demikian, di bawah
pemerintahan Kerajaan Bali, kalangan bangsawan Sasak yang telah terislamisasi
dan para pemimpin lainnya, seperti Tuan Guru, merasa tertekan dan bergabung
bersama-sama untuk memimpin banyak pemberontakan kecil melawan Bali, kendati
tidak berhasil.
Kekalahan ini mendorong beberapa bangsawan Sasak meminta
campur tangan militer Belanda untuk mengusir Kerajaan Bali. Permintaan mereka
itu memberikan peluang Belanda untuk masuk ke Lombok untuk memerangi dinasti
Bali. Ketika akhirnya Belanda berhasil menaklukkan dan mengusir Bali dari
Lombok. Alih-alih mengembalikan kekuasaan bangsawan Sasak terhadap Lombok,
mereka menjadi penjajah baru terhadap Sasak. Belanda banyak mengambil tanah
yang sebelumnya dikuasai oleh Kerajaan Bali, dan memberlakukan pajak tanah yang
tinggi terhadap penduduk (Kraan, 1976).
Bahasa
Etnologi: ilmu tentang unsur atau masalah kebudayaan suku
bangsa dan masyarakat penduduk suatu daerah di seluruh dunia secara komparatif
dengan tujuan mendapat pengertian tentang sejarah dan proses evolusi serta
penyebaran kebudayaan umat manusia di muka bumi. Etnolog: Adalah orang yang
ahli etnologi.Bahasa Sasak, terutama aksaranya, sangat dekat dengan aksara Jawa
dan Bali, sama-sama menggunakan sistem aksara Ha Na Ca Ra Ka. Tetapi secara
pelafalan, bahasa Sasak lebih dekat dengan Bali. Menurut etnolog yang
mengumpulkan semua bahasa di dunia, bahasa Sasak merupakan keluarga dari
Austronesian Malayu-Polinesian, campuran Sunda-Sulawesi, dan Bali-Sasak.
Perkampuangan Suku Sasak
Bila diperhatikan secara langsung, bahasa Sasak yang berkembang di Lombok ternyata sangat beragam, baik dialek maupun kosakatanya. Ini sangat unik dan bisa menunjukkan banyaknya pengaruh dalam perkembangannya. Secara umum, bahasa Sasak bisa diklasifikasikan ke dalam: Kuto-Kute (Lombok Utara), Ngeto-Ngete (Lombok Tenggara), Meno-Mene (Lombok Tengah), Ngeno-Ngene (Lombok Tengah), dan Mriak-Mriku (Lombok Selatan).
Perkampungan Orang Sasak
Rumah-rumah yang ada di Sasak sangat berbeda dengan
orang-orang Bali. Di dataran, rumah orang Sasak cenderung luas dan melintang.
Desa-desa di gunung terpencil tertata rapi dan mengikuti perencanaan yang
pasti. Di bagian utara, tata ruang desa-desa pegunungan yang ideal terdiri atas
dua baris rumah (bale), dengan sederet lumbung padi di satu sisi. Dan di antara
rumah-rumah ada sederet balai bersisi terbuka (beruga) dibagun di atas enam
tiang. Bagunan lain di desa adalah rumah besar (bale bele) milik para pejabat
keagamaan, yang konon didiami arwah leluhur yang sakti. Semtara makam leluhur
yang sebenarnya merupakan rumah-rumah kayu dan bambu kecil dibangun di atasnya.
Sebenarnya diberbagai bagian Indonesia, rumah Sasak tidak
berjendela dan gelap. Digunakan terutama untuk memasak, tidur, dan penyimpanan
pusaka masyarakat menghabiskan sangat sedikit waktu di dalam rumah sepanjang
hari. Balai terbuka menyediakan panggung tempat duduk untuk kegiatan
sehari-hari dan hubungan sosial. Balai juga digunakan untuk tidur dan untuk
upacara: jenazah diletakan disini sebelum dipindahkan ke pekuburan.
Di desa-desa bagian selatan, panggung di bawah lumbung padi
berperan sama dengan balai. Di bagian utara (tidak semua desa di utara memiliki
lumbung padi). Ada empat jenis dasar lumbung dengan ukuran yang berbeda-beda.
Yang paling besar biasanya milik orang kaya atau keturunan bangsawan. Semua,
kecuali jenis lumbung padi kecil, memiliki panggung di bawah.
a. Lumbung Padi
Lumbung Padi Suku Sasak
Lumbung Padi Suku Sasak
lumbung padi menjadi ciri pembeda arsitektur suku Sasak.
Bangunan itu dinaikan pada tiang-tiang dengan cara khas Austronesia dan memakai
atap berbentuk “topi” yang tidak lazim,
ditutup dengan ilalang. Empat tiang besar menyangga tiang balok melintang di
bagian atas, tempat kerangka, atap penopang dengan kaso bambu bersandar.
Satu-satunya bukaan adalah sebuah lubang persegi kecil yang
terletak tinggi di atas ujung sopi-sopi, yang merupakan tempat penyimpanan padi hasil panen. Piringan kayu yang besar
(jelepreng) disusun di atas puncak tiang dasar untuk mencegah hewan pengerat mencapai
tempat penyimpanan padi.
Rumah Adat Suku Sasak
Rumah Adat Suku Sasak
b. Rumah
Rumah orang Sasak, yang berdenah persegi, tidak lazim
dibandingkan dengan bentuk arsitektur asli daerah lain. Dalam hal ini di
dalamnya tidak disangga oleh tiang-tiang. Bubungan atap curam dengan atap
jerami berketebalan kurang lebih 15 cm, menganjur ke dinding dasar yang menutup
panggung setinggi sekitar satu meter setengah terbuat dari campuran lumpur,
kotoran kerbau, dan jerami yang permukaannya halus dan dipelitur. Perlu tiga
atau empat langkah untuk mencapai ke rumah bagian dalam (dalam bale) di atas
panggung ini, yang ditutup dinding anyaman bambu, dan sering kali dilengkapi
dengan daun pintu ganda yang diukir halus.
Anak laki-laki tidur di panggung di luar dalam bale; anak
perempuan di dalamnya. Rumah bagian dalam berisi tungku di sisi sebelah kanan.
Dengan rak untuk mengeringkan jagung di atasnya. Di sisi sebelah kiri dibagi
untuk kamar tidur bagi para anggota rumah tangga, berisi sebuah rumah tidur
dengan rak langit-langit untuk menyimpan benda-benda pusaka dan berharga di
atasnya. Bagian ini merupakan tempat untuk melahirkan anak. Kayu bakar disipan
di bagian belakang rumah, di bawah panggung.
Mesjida Suku Sasak
Mesjida Suku Sasak
c. Masjid Wetu Telu
Sebanyak kurang lebih 28.000 orang Sasak taat pada bentuk
sinkretis islam yang ditunjukan dalam Wetu Telu, yang menggabungkan hindu dan
kepercayaan animisme asli. Masjid Wetu Telu sering dibangun dengan gaya asli
dari kayu dan bambu, serta atap terbuat dari alang-alang atau sirap bambu.
Dengan bentuk denah persegit empat dan atap piramid tumpang yang di sangga
dengan empat tiang, apabila diperhatikan maka akan terlihat mirip dengan masjid
lama Ternate dan Tidore.
Kesenian Tradisional
Hingga saat ini di Lombok yang terkenal suku Sasak memiliki
berbagai macam budaya daerah.Merupakan aset daerah yang perlu dilestarikan
sebagai peninggalan nenek moyang. Kebudayaan Sasak bukan hanya milik Lombok,
melainkan sudah termasuk ke dalam kebudayaan Indonesia. Berikut adalah beberapa
kebudayaan yang masih berkembang di suku Sasak.
a. Bau Nyale
Bau Nyale adalah sebuah legenda dan bernilai sakral tinggi
bagi suku Sasak. Tradisi ini diawali oleh kisah seorang putri Raja Tonjang Baru
yang sangat cantik bernama Putri Mandalika. Karena kecantikannya itu, para
putra raja memperebutkan untuk meminangnya. Jika salah satu putra raja ditolak
pinangannya, maka akan timbul peperangan. Sang Putri Mandalika mengambil
keputusan: pada tanggal 20 bulan kesepuluh ia menceburkan diri ke laut lepas.
Dipercaya oleh masyarakat hingga kini bahwa Nyale adalah jelmaan dari Putri
Mandalika. Nyale adalah sejenis binatang laut berkembang biak dengan bertelur,
perkelaminan antara jantan dan betina. Upacara ini diadakan setahun sekali.
Bagi masyarakat Sasak, nyale dipergunakan untuk
bermacam-macam keperluan seperti santapan (emping nyale), ditaburkan ke sawah
untuk kesuburan padi, lauk-pauk, obat kuat, dan lainnya yang bersifat magis
sesuai dengan keyakinan masing-masing. Upacara Rebo Bontong dimaksudkan untuk
menolak bala (bencana atau penyakit). Dilaksanakan setahun sekali tepat pada
hari Rabu minggu terakhir bulan Safar.
Menurut kepercayaan masyarakat Sasak, hari Rebo Bontong
merupakan puncak terjadi Bala (bencana atau penyakit). Sehingga sampai sekarang
masih dipercaya untuk memulai suatu pekerjaan tidak diawali pada hari Rebo
Bontong. Rebo dan Bontong berarti “putus” sehingga bila diberi awalan pe
menjadi “pemutus”. Upacara Rebo Bontong ini sampai sekarang masih tetap
dilaksanakan oleh masyarakat di Kecamatan Pringgabaya.
b. Slober
Kesenian slober adalah alat musik tradisional Lombok yang
tergolong cukup tua. Alat-alat musiknya sangat unik dan sederhana. Terbuat dari
pelepah enau dengan panjang 1 jengkal dan lebar 3 cm. Kesenian slober didukung
juga dengan peralatan yang lainnya yaitu gendang, petuq, rincik, gambus,
seruling. Nama slober diambil dari salah seorang warga desa Pengadangan
Kecamatan Pringgasela yang bernama Amaq Asih alias Amaq Slober. Kesenian ini
salah satu kesenian yang masih eksis sampai saat ini yang biasanya dimainkan
pada setiap bulan purnama.
c. Lomba Memaos
Lomba Memaos atau lomba membaca lontar merupakan lomba
menceritakan hikayat kerajaan masa lampau. Satu kelompok pepaos terdiri dari
3-4 orang: satu orang sebagai pembaca, satu orang sebagai pejangga, dan satu
orang sebagai pendukung vokal. Tujuan pembacaan cerita ini untuk mengetahui
kebudayaan masa lampau dan menanamkan nilai-nilai budaya pada generasi penerus.
Tarung Paresean
d. Periseian
Periseian (Presean) adalah kesenian beladiri yang sudah ada
sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Lombok. Awalnya adalah semacam latihan
pedang dan perisai sebelum berangkat ke medan pertempuran. Pada perkembangannya
hingga kini, senjata yang dipakai berupa sebilah rotan dengan lapisan aspal dan
pecahan kaca yang dihaluskan. Sedangkan perisai (ende) terbuat dari kulit lembu
atau kerbau. Setiap pemain atau pepadu dilengkapi dengan ikat kepala dan kain
panjang.
Kesenian ini tak lepas dari upacara ritual dan musik yang
membangkitkan semangat untuk berperang. Pertandingan akan dihentikan jika salah
satu pepadu mengeluarkan darah atau dihentikan oleh juri. Walau perkelahian
cukup seru bahkan tak jarang terjadi cidera hingga mengucurkan darah di dalam arena,
tetapi di luar arena para pepadu menjunjung tinggi sportivitas dan tidak ada
dendam di antara mereka. Inilah pepadu Sasak. Festival periseian diadakan
setiap tahun di Kabupaten Lombok Timur dan diikuti oleh pepadu sepulau Lombok.
e. Begasingan
Begasingan merupakan salah satu permainan yang mempunyai
unsur seni dan olahraga, permainan yang tergolong cukup tua di masyarakat
Sasak. Begasingan ini berasal dari dua suku kata, yaitu gang dan sing; gang
artinya “lokasi”, sing artinya “suara”. Seni tradisional ini mencerminkan
nuansa kemasyarakatan yang tetap berpegangan kepada petunjuk dan aturan yang
berlaku di tempat permainan. Nilai-nilai yang berkembang di dalamnya selalu
mengedepankan rasa saling menghormati dan rasa kebersamaan yang cukup kuat
serta utuh dalam melaksanakan suatu tujuan di mana selalu menjunjung tinggi
nilai-nilai luhur. Permainan ini biasanya dilakukan semua kelompok umur dan
jumlah pemain tergantung kesepakatan kedua belah pihak di lapangan.
f. Bebubus Batu
Bebubus Batu masih dilaksanakan di Dusun Batu Pandang,
Kecamatan Swela. Bebubus Batu berasal dari kata bubus, yaitu sejenis ramuan
obat terbuat dari beras dan dicampur dengan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan, dan
batu, yakni batu tempat untuk melaksanakan upacara yang dikeramatkan oleh
masyarakat setempat. Prosesi acara ini dipimpin oleh pemangku yang diiringi
oleh kiai. Penghulu dan seluruh warga dengan menggunakan pakaian adat membawa
sesajen (dulang) serta ayam yang akan dipakai untuk melaksanakan upacara.
Upacara Bebubus Batu dilaksanakan setiap tahunnya yang dimaksudkan adalah untuk
meminta berkah kepada Sang Pencipta.
g. Tandang Mendet
Tandang Mendet merupakan tarian perang. Tari ini telah ada
sejak zaman kejayaan Kerajaan Selaparang yang menggambarkan keprajuritan.
Tarian ini dimainkan oleh belasan orang yang berpakaian lengkap dengan membawa
tombak, tameng, kelewang (pedang bersisi tajam satu), dan diiringi dengan
gendang beleq serta syair-syair yang menceritakan tentang keperkasaan dan
perjuangan. Tarian ini masih dilaksanakan di Sembalun.
h. Sabuk Belo
Sabuk Belo adalah sabuk yang panjangnya 25 meter dan
merupakan warisan turun temurun masyarakat Lombok khususnya yang berada di
Lenek Daya. Sabuk Belo biasanya dikeluarkan pada saat peringatan Maulid Bleq
bertepatan dengan 12 Rabiul Awal tahun Hijriah. Upacara pengeluaran Sabuk Bleq
ini diawali dengan mengusung keliling kampung secara bersama-sama yang diiringi
dengan tetabuhan gendang beleq yang dilanjutkan dengan praja mulud dan diakhiri
dengan memberi makan kepada berbagai jenis makhluk. Menurut kepercayaan
masyarakat setempat, upacara ini dilakukan sebagai simbol ikatan persaudaraan,
persahabatan, persatuan dan gotong royong serta rasa kasih sayang di antara
makhluk Tuhan.
i. Gendang Beleq
Gendang Beleq merupakan pertunjukan ensembel dengan alat
perkusi gendang besar memainkan peran utamanya. Ada dua buah jenis gendang
beleq, yaitu gendang mama (laki-laki) dan gendang nina (perempuan), berfungsi
sebagai pembawa dinamika. Sebuah gendang kodeq (gendang kecil), dua buah reog
sebagai pembawa melodi (yang satu reog mama, terdiri atas dua nada; dan reog
nina, yakni perembak beleq yang berfungsi sebagai alat ritmis). Delapan buah
perembak kodeq (paling sedikit enam buah dan paling banyak sepuluh, berfungsi
sebagai alat ritmis), sebuah petuk sebagai alat ritmis, sebuah gong besar
sebagai alat ritmis, sebuah gong penyentak sebagai alat ritmis, sebuah gong
oncer sebagai alat ritmis, dan dua buah bendera maerah atau kuning yang disebut
lelontek.
Menurut cerita, gendang beleq dulu dimainkan bila ada
pesta-pesta kerajaan. Bila terjadi perang berfungsi ia sebagai komandan perang,
sedang copek sebagai prajuritnya. Bila datu (raja) ikut berperang, maka payung
agung akan digunakan. Sekarang, fungsi payung ini ditiru dalam upacara perkawinan.
Gendang Beleq dapat dimainkan sambil berjalan atau duduk.
Komposisi musiknya bila dilakukan dalam keadaan berjalan maka memunyai aturan
tertentu; berbeda dengan posisi duduk yang tidak memunyai aturan. Pada waktu
dimainkan, pembawa gendang beleq akan memainkannya sambil menari, demikian juga
pembawa petuk, copek, dan lelontok.
Struktur Masyarakat
Masyarakat Sasak dipandang sebagai penduduk asli Pulau
Lombok. Mereka mengenal suatu pelapisan atau penggolongan masyarakat. Secara
sosial-politik, masyarakat Sasak dapat digolongkan ke dalam dua tingkatan
utama, yaitu golongan bangsawan yang lazim disebut perwangsa dan golongan
masyarakat kebanyakan yang disebut jajar karang atau bangsa Ama.
Golongan perwangsa terbagi atas dua tingkatan, yaitu
bangsawan penguasa dan bangsawan rendahan. Para bangsawan penguasa atau
perwangsa menggunakan gelar datu. Penyebutan untuk kaum laki-laki golongan ini
adalah raden dan perempuan bangsawannya dipanggil denda. Jika kelompok raden
telah mencapai usia cukup dewasa dan ditunjuk untuk menggantikan kedudukan
ayahnya, mereka berhak memakai gelar datu. Perubahan gelar itu dilakukan
setelah melalui upacara tertentu.
Bangsawan rendahan atau triwangsa menggunakan gelar lalu
untuk para lelaki dan baiq untuk para perempuan. Tingkatan terakhir disebut
jajar karang, panggilan untuk laki-laki adalah loq dan perempuannya adalah le.
Golongan pertama dan kedua lazim disebut permenak.
Sesuai dengan statusnya, golongan permenak di samping lebih
tinggi daripada jajar karang, merupakan penguasa sekaligus pemilik sumber daya
lahan pertanian yang luas. Ketika dinasti Karangasem Bali berkuasa di Lombok,
golongan permenak hanya menduduki jabatan sebagai pembekel di daerah
berpenduduk Sasak.
Masyarakat Sasak memberikan penghormatan kepada golongan
permenak berdasarkan ikatan tradisi turun-temurun dan berdasarkan ikatan budaya
Islam. Landasan pelapisan sosial masyarakat Sasak mengikuti garis keturunan
lelaki (patrilineal).
Dalam alam kepercayaan, masyarakat Lombok mengenal tiga
kelompok agama yang dianut oleh kalangan orang Sasak, yaitu kelompok Boda,
Waktu Telu, dan Islam. Kelompok Boda dalam bentuk komunitas kecil berdiam di pegunungan
utara dan di jajaran lembah pegunungan selatan Lombok. Kelompok Boda adalah
orang-orang Sasak yang dari segi kesukuan, budaya, dan bahasa menganut
kepercayaan menyembah berhala. Mereka menyingkir ke daerah pegunungan dalam
upaya melepaskan diri atau menghindari islamisasi di Lombok.
Nama Waktu Telu diberikan kepada penganut kepercayaan yang
beribadah tiga kali pada bulan puasa, yaitu sembahyang Magrib, Isya, dan Subuh.
Di luar bulan puasa, mereka dalam seminggu hanya sekali melakukan ibadah, yaitu
pada hari Kamis dan Jumat, saat waktu Asar. Urusan ibadah salat dan puasa
diserahkan kepada pemimpin agama mereka, yaitu para kiai dan penghulu.
Pada hari-hari tertentu penduduk memberi sedekah kepada
pemimpin agamanya. Mereka hanya menunaikan tugas yang diberikan oleh para kiai.
Semua kiai Waktu Telu tidak melaksanakan zakat dan naik haji. Daerah-daerah
penganut Waktu Telu meliputi Bayan dan Tanjung di Lombok Barat, dataran tinggi
Sembalun dan Suranadi di Lombok Timur, dan Pujut di Lombok Tengah.
Hubungan kekerabatan masyarakat Sasak walau terkesan
bilateral, lebih menganut pola patrilineal. Pola kekerabatan itu disebut Wiring
Kadang yang mengatur hak dan kewajiban warga. Unsur-unsur kekerabatan itu
meliputi ayah, kakek, saudara laki-laki ayah (paman), anak lelaki saudara
lelaki ayah (sepupu), dan anak-anak mereka. Warga kelompok Wiring Kadang
mengemban tanggung jawab terhadap masalah keluarga, yang terutama terlihat pada
saat persiapan penikahan salah seorang anggota kerabat. Masalah warisan dan
pengaturannya menjadi hak mereka.
Harta warisan biasanya disebut pustaka yang mengandung
nilai-nilai luhur dan berbentuk seperti tanah, rumah, dan benda-benda lainnya
yang dianggap keramat. Benda-benda keramat itu, antara lain, berupa pakaian,
keris, dan permata. Orang-orang Bali di Lombok juga memiliki pola kekerabatan
yang serupa dan disebut purusa. Garis keturunan mereka berdasarkan pada garis
ayah. Seperti pada masyarakat Sasak, pola pewarisan mereka disebut pusaka.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, kehidupan
masyarakat Sasak lebih banyak mengemban kewajiban terhadap kekuasaan kerajaan.
Walau di sejumlah desa, seperti Praya dan Sakra, memiliki hak perdikan, yaitu
bebas dari pungutan pajak. Namun, kewajiban apati getih, yaitu ikut serta dalam
peperangan kerajaan tetap harus dipenuhi. Kerajaan memberikan hak itu berkenaan
dengan jasa mereka yang telah membantu dalam memenangkan peperangan.
Kehidupan petani pada umumnya selalu berada di bawah
“penindasan” para bangsawan dan pejabat kerajaan. Banyak lahan pertanian mereka
yang diambil alih oleh raja melalui hak sita komunal sebelumnya. Banyak tanah
yang tidak memiliki ahli waris menjadi milik kerajaan. Selain itu, tuntutan
kerja wajib menjadikan para bangsawan tidak jarang secara sewenang-wenang
mengambil putra-putri mereka untuk menjadi pekerja dan pelayan.
Padahal di lahan pertanian para petani sangat membutuhkan
tenaga putra-putri mereka. Para petani menjual hasil pertanian kepada para
pedagang di bawah syahbandar dan sebaliknya mereka memperoleh barang kebutuhan
lainnya dari jalur perdagangan itu pula. Kekuasaan kerajaan sangat memengaruhi
kehidupan masyarakat perdesaan.
Sumber Rujukan:
http://www.wacananusantara.org/sejarah-dan-tradisi-suku-sasak/