Entah sejak kapan pastinya seseorang mulai mengenal
istilah “ngamen” dan para pelakunya di panggil sebagai “pengamen”. Bisa
diduga ngamen memang sudah ada sejak manusia mengenal alat musik. Karena ngamen
umumnya bernyayi diiringi dengan alat musik. Meskipun akhir-akhir ini pernah
saya temui pengamen yang tidak memakai alat musik.
Pengamen sering pula diarikan sebagai
penyanyi jalanan (Inggris: street singers), sementara musik-musik yang
dimainkan umumnya disebut sebagai musik jalanan. Pengertian antara musik
jalanan dengan penyanyi jalanan secara terminologi tidaklah sederhana, karena
musik jalanan dan penyanyi jalanan masing-masing mempunyai disiplin dan
pengertian yang spesifik bahkan dapat dikatakan suatu bentuk dari sebuah warna
musik yang berkembang di dunia kesenian.
Dalam sejarahnya, pengamen telah ada sejak abad
pertengahan terutama di Eropa bahkan di kota lama London terdapat jalan
bersejarah bagi pengamen yang berada di Islington, London. Pada saat itu
musik di Eropa berkembang sejalan dengan penyebaran musik keagamaan yang
kemudian dalam perkembangannya beberapa pengamen merupakan sebagai salah-satu
landasan kebudayaan yang berpengaruh dalam kehidupan umat manusia.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia “ngamen” terdiri dari dua
pengertian, pertama sebagai kegiatan keliling bermain musik dengan mengharapkan
bayaran, kedua sebagai kegiatan pergi melaut mencari ikan. Dalam kamus online
pengamen ditulis sebagai “beg while singing playing musical instruments or
reciting prayers, atau be persistent(memaksa). Pengertian-pengertian
yang diberikan dalam beberapa kamus pengertiannya hampir sama. Kegiatan bermain
musik dari satu tempat ke tempat lain dengan mengharapkan imbalan sukarela atas
pertunjukan yang mereka suguhkan. Namun karya yang mereka suguhkan
berbeda-beda, baik dari segi bentuk dan kualitas maupun performanya.
“Ngamen Gratis”
Sering kali ditemui sriker atau tulisan berisi “NGAMEN
GRATIS” di tempat-tempat umum, rumah makan, dan tempat-tempat strategis
lainnya. Fenomena itu bisa di artikan; (1). Mengamen masih di perbolehkan
asalkan tidak dipungut biaya/tidak meminta uang, (2). Pengusiran secara halus
bahwa di tempat itu tidak di pebolehkan mengamen, toh biasanya pengamen selalu
meminta uang. Dengan kata lain stiker itu adalah bentuk perlawanan aktivitas
pengamen, (3). Selama ini pengamen telah dianggap mengganggu dan meresahkan.
Tetapi meski banyak pelarangan bahkan pelecehan terhadap
aktivitas ngamen, hingga sekarang masih banyak sebagian orang—terutama di
kota-kota besar—yang bertahan melakoni aktivitas ngamen. Alasannya pun beragam
mulai dari berkesenian, hobi, hingga alasan kesulitan ekonomi. Alasan terakhir
inilah yang sering muncul kepermukaan, sehingga ngamen selalu identik dengan
sebuah upaya alternatif untuk mengumpulkan uang bahkan lebih buruknya lagi image pengamen
identik dengan pengemis. Mungkin image pengamen dianggap lebih
prestisius di banding pengemis sehingga banyak dengan alasan keterdesakan
ekonomi, meski ia tidak mahir bernyanyi, ngamen menjadi alternatif yang
menjanjikan bahkan jika dipadukan dengan mengemis bisa menjadi lebih
menguntungkan. Sering kali kita menemui di jalan-jalan seseorang mengamen
sambil mengendong balita mungil.
Minimnya Ruang Berkesenian
Fenomena tersebut adalah realitas social yang kita temui
sehari-hari. Bahwa telah terjadi reduksi imej pengamen di mata masyarakat. Hal
ini bisa disebabkan dari dalam ataupun dari luar. Dari dalam bisa disebabkan
factor personal, yakni ngamen sebagai sebuah aktivitas dimaknai oleh oknum
sebagai sebuah alternatif yang bersifat pragmatis. Ngamen dimaknai sebagai
upaya mengumpulkan uang semaksimal mungkin tanpa mempertimbangakan balas jasa
(skill suara dan musik). Pengamen tidak lagi mepertimbangan kemampuannya dalam
menjalankan aktifitasnya. Dan yang kedua, adalah factor structural yakni
pemerintah belum mampu berperan dan memberikan solusi terhadap nasib masyarakat,
termasuk para pengamen dan pengemis. Pemerintah belum mampu memberikan lapanagn
kerja serta ruang berekspresi. Oleh sebab itu solusinya adalah sediakan ruang
ekspresi bagi para pengamen jalanan agar mereka mampu menghasilkan karya-karya.
Jika pemerintah acuh tak acuh terhadap permasalahan ini. Ya jangan menyalahkan
masyarakat jika semakin banyak pengamen-pengamen “anyar” bermunculan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar